Pengajian Kitab Kuning adalah inti dari pendidikan di pondok pesantren, sebuah metode belajar tradisional yang telah bertahan berabad-abad dan tetap relevan hingga kini. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab gundul ini merupakan khazanah keilmuan Islam yang mendalam, mencakup berbagai disiplin ilmu agama. Artikel ini akan mengupas mengapa metode belajar tradisional ini tetap menjadi tulang punggung pendidikan pesantren dan bagaimana relevansinya terus terjaga di era modern.
Kitab Kuning adalah sebutan untuk kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama terdahulu, yang sebagian besar tidak berharakat (tanpa tanda baca vokal), sehingga membutuhkan pemahaman Nahwu (gramatika Arab) dan Sharf (morfologi Arab) yang kuat. Isinya sangat beragam, mulai dari fiqih (hukum Islam), tafsir Al-Qur’an, hadis, tauhid (teologi), hingga tasawuf (ilmu spiritual). Pengajian kitab kuning bukan sekadar membaca, melainkan mendalami, memahami, dan menghayati setiap makna yang terkandung di dalamnya.
Metode belajar tradisional yang paling umum dalam pengajian kitab kuning adalah:
- Bandongan (Sorogan Kolektif): Dalam metode ini, Kyai atau Ustadz akan membaca, menerjemahkan, dan menjelaskan isi kitab kuning di hadapan sejumlah besar santri. Santri menyimak dan mencatat penjelasan tersebut dalam kitab mereka masing-masing. Metode ini memungkinkan Kyai untuk menyampaikan ilmu secara luas dan efisien kepada banyak santri sekaligus.
- Sorogan (Personal): Ini adalah metode yang lebih personal dan intensif. Santri secara bergiliran membaca kitab di hadapan Kyai atau Ustadz, yang kemudian akan mengoreksi bacaan, memberikan penjelasan tambahan, dan menjawab pertanyaan secara langsung. Metode ini sangat efektif untuk memastikan pemahaman individu dan mengoreksi kesalahan secara detail. Sebuah survei yang dilakukan di beberapa pondok pesantren salaf di Jawa Timur pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa santri yang aktif dalam sesi sorogan memiliki pemahaman materi 35% lebih baik.
Relevansi metode belajar tradisional ini terletak pada kemampuannya untuk mencetak santri yang tidak hanya hafal, tetapi juga paham dan mampu berijtihad (mengeluarkan hukum Islam berdasarkan dalil) dalam menghadapi permasalahan kontemporer. Santri dilatih untuk berpikir kritis, menganalisis dalil, dan merumuskan pandangan keagamaan berdasarkan pemahaman mendalam terhadap sumber-sumber primer Islam. Selain itu, Kitab Kuning mengajarkan kerangka berpikir yang kokoh dan melatih kemampuan menalar secara logis.
Di era digital ini, meskipun informasi mudah diakses, pengajian kitab kuning tetap krusial karena memberikan sanad keilmuan (mata rantai guru dan murid) yang jelas dan otentik. Hal ini menjamin bahwa ilmu yang diperoleh memiliki keberkahan dan keabsahan dari sumber aslinya. Dengan demikian, pengajian kitab kuning bukan hanya menjaga warisan intelektual Islam, tetapi juga membentuk ulama dan cendekiawan masa depan yang memiliki landasan ilmu yang kuat dan akal budi yang jernih.